Kenali Diri dan Terima Seutuhnya
Sudah berapa lama kita hidup ?. Apakah kita sudah mengenali siapa diri kita ?. Mampukah kita menerima secara utuh atas apa yang melekat dalam diri kita?
Hiruk pikuk kehidupan saat ini terkadang membuat kita lupa akan hal tersebut. Hari-hari kita disibukkan dengan dunia pekerjaan kita. Dunia pekerjaan yang kita lakoni menjadi segalanya. Membangun “citra” menjadi niscaya. Menjaga “citra” agar “kompetitor” tidak leluasa memberi cercaan, dan celaan hingga hinaan kepada kita. Semua itu dilakukan agar semua karir dan kegiatan kita dapat terjaga. Demi sebuah jabatan agar tetap bisa berkuasa, dan memberi kendali demi keabadian yang fana.
Penguasaan materi duniawi, kenyamanan hidup duniawi telah membuat kita terlena. Tibalah pada saat dimana kita kembali pada titik awal start kehidupan. Semuanya sirna, seakan-akan tak percaya atas semuanya, mengapa bisa terjadi, Siapa yang membuat situasi semua ini, hingga se-akan-akan tak dapat dikendalikan. Berupaya mencari kambing hitam menjadi pilihan utama. Menyalahkan orang, bahkan ada yang tega menuduh Tuhan tidak adil, menganggap Tuhan tidak sayang terhadap diri kita.
BACA JUGA: HIV-AIDS Bukan Semata-mata Penyakit Seksual !
Pada kondisi ini, mari sejenak kita renungkan siapa diri kita. Ini penting untuk mengenali diri secara utuh hingga mampu menerima keutuhan atas semua yang melekat dalam diri kita. Kekurangan, kelemahan dalam diri yang selama ini ditutup-tutupi. Ketidak sempurnaan berusaha kita bungkus dengan rapih dalam kemasan tampilan penuh pesona demi membangun sebuah “citra”.
Tidak jarang kita lupa dengan backround keluarga kita. Semisal saya terlahir disebuah kampung yang jauh dari peradaban kota. Terlahir dari rahim keluarga petani kampung, mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian. Selain sebagai petani kampung, saya juga lahir dari latar belakang keluarga pendidik ummat yang minim akan upah materiil. Selain petani, Pendidik ummat, saya pula terlahir dari keluarga wirausahawan kampung. Pada saat menjelang remaja, sering protes sama ayahanda, mengapa tidak memilih tinggal hidup dikota, membangun rumah di kota, hingga saya terlahir menjadi remaja kota. Sambil tersenyum simpuh ayahhanda menjawab, “…. nak suatu hari nanti kamu akan tahu bagaimana rasanya hidup di kota. Tidak ada kedamaiaan dan kebahagiaan hidup selain dikampung dengan bertani padi dan bercocok tanam diladang.
Saat ini terasa jelas atas jawaban almarhum ayahhanda. Beras hasil bertani terasa lebih sedap dan segar karena anyar dipanen. Apalagi dimasak dengan cara-cara manual konvensional. Daun singkong, daun kacang, daun eceng/ genjer, tangkai pakis pinggir kali dan jenis-jenis sayuran yang terhindar dari bahan pengawet. Jengkol dan pete sekaligus disantap lahap dengan sambal terasi bakar yang pedas dibubuhi ikan peda. Hemmm.. luar biasa memang. Disitulah letaknya saya bangga menjadi anak yang lahir dari rahim keluarga petani dikampung nan jauh.
Itulah barangkali sekelumit latar belakang keluarga saya yang dulu sempat dirasa malu karena lahir dikampung yang sangat tertinggal. Saya sadar atas apa yang saya raih saat ini. Alhamdulillah semuanya atas hikmah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta upaya keras kedua orang tua kami. Semua kenyataan itu tidak mungkin dan tidak bisa saya hindarkan. Tidak mungkin saya tutup-tutupi, ikhlas menerima, bangga dan bahagia atas setiap ketentuan dan keputusan Tuhan.
BACA JUGA: Menggali Potensi Keterampilan Menulis di Era Digital : Bagian 1
Hidup dan tinggal di kota saat ini menjadi pilihan dan bagian dari kehendakNya. Berusaha memahami bahasa-bahasa sang motivator ulung, seakan-akan hidup kita, potensi dalam diri kita sebagai manusia akan mampu menyulap apa yang kita mau, hingga segalanya menjadi nyata. Sebagai bahasa motivasi tentu sangat baik karena paling tidak itu bisa mamacu, mendorong semangat dan adrenalin dalam tubuh kita. Pada situasi ini, saya teringat dengan pepatah orang tua zaman dulu “Buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya”, “Air tak pernah menetes ke atas”. Saya pun berusaha mendalami makna atas filsafat didikan orang tua tersebut. Takdir kita barangkali harus lebih unggul dari orang tua kita. Karena itu pula pertanda bahwa orang tua sukses menjalankan siklus re-produksinya dengan mendidik dan membesarkan kita hingga seperti ini. Tetapi ingat semuanya terukur dan tidak akan pernah “melampaui batas” ketentuan. Andaikan kita melampaui batas siklus tersebut, niscaya nestapa sulit berubah menjadi bahagia.
Pada akhirnya, kita harus menyadari atas segala ketidak sempurnaan yang melekat dalam diri kita. Menerima semua latar belakang keluarga secara utuh. Menerima calon pasangan hidup, dan pasangan hidup kita miliki saat ini secara utuh pula. Bahkan semua anak-anak dengan segala keterbatasan dan keunggulannya harus kita terima, kita didik dan kita bimbing kearah yang lebih berkualitas. Tidak mungkin rasanya Tuhan memberi kelebihan, keunggulan tanpa kekurangan dan keterbatasan. Tidak mungkin Tuhan menganugerahi kekurangan dan keterbatasan tanpa adanya kelebihan dan keunggulan. Karena barangkali letak keadilan dan kebesaran Tuhan berada pada keseimbangan diantara keduanya.
BACA JUGA: RANCANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA KONSEP PELUANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL INDRAMAYU
Mengutip bapak Dr. H. Pudjo Sumedi AS (Alm) pada saat kuliah di UHAMKA (2011) dalam kelakarnya beliau berkata “…bersyukurlah dengan hidung kita yang pesek karena dengan kepesekan, hidung kita tidak mudah mencium bau kentut teman sebelah yang tidak disengaja, hingga dia berulangkali memohon maaf pada kita. Bersyukurlah atas hidung kita yang mancung, karena dengan kemancungan itu, kita akan lebih peka atas aroma tidak sedap atau mungkin bau ketuntut teman sebelah yang terkadang dusta bahkan disengaja karena keluarnya tidak bersuara, hingga kita mampu memaafkannya. Terima dan syukurilah atas anugerah mata kita yang sipit, walau sering dianggap tidak bisa memberi pandangan yang jauh bahkan sering terjatuh. Bersyukurlah atas mata kita yang sipit karena kalau mengendarai motor diwaktu senja tanpa pakai helm pun tidak akan mudah kelilipan”. Itulah barangkali sekelumit hikmah atas segala kekurangan dan kelebihan kita. Semua itu tentu bersumber dari anugerah Tuhan yang Maha Kuasa.
Dengan menyadari, mengakui hingga menerima secara utuh atas semua yang melekat dalam diri kita, insyaallah nestapa kita akan berakhir dengan bahagia. Mengutip lyrik sebuah lagu miliknya John Legend dalam salah satu tembang All of Me yang cukup terkenal, “All your perfect imperfections/ Semua ketaksempurnaanmu yang sempurna” tentu saja kebahagiaan yang tidak hanya diukur atas keberhasilan dan keberlimpahan materi duniawi, serta bukan pula kebahagiaan dan kesempurnaan atas unsur-unsur pisis dalam semua pesona inderawi yang fana.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Arip Amin, M.Pd