Preaload Image

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika

HomeArtikel dan OpiniHIV-AIDS Bukan Semata-mata Penyakit Seksual !

HIV-AIDS Bukan Semata-mata Penyakit Seksual !

Oleh: Arip Amin, M.Pd

A I D S merupakan kepanjangan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, para aktivis kesehatan di Indonesia menterjemahkan sebagai suatu kumpulan berbagai gejala penyakit yang diperoleh karena melemahnya sistem kekebalan pada tubuh manusia oleh Human Immunodeficiency Virus atau yang sering kita sebut HIV. Sistem kekebalan tubuh manusia terbentuk dalam sel darah putih yang berfungsi sebagai suatu sistem kekebalan tubuh itu sendiri guna menaklukkan, melawan berbagai ancaman kuman, bakteri, parasit atau virus yang masuk kedalam tubuh manusia, sehingga kondisi kesehatan kita tetap terjaga.

Menjadi menarik untuk terus dikaji, ditelaah dan diteliti berkaitan dengan penyebar luasan infeksi HIV di masyarakat. Kenapa demikian? Karena jenis virus HIV memiliki keunikan tersendiri, yang hingga saat ini para peneliti dunia belum dapat menemukan obatnya, bahkan vaksinnya pun belum bisa ditemukan. Selain virus HIV, para akhli kesehatan berkeyakinan bahwa setiap parasit, bakteri, kuman dan virus yang masuk kedalam aliran darah manusia dapat dilumpuhkan oleh sistem kekebalan tubuh yang dimiliki manusia.

BACA JUGA: Bagaimana Mengubah Nestapa agar Menjadi Bahagia ?

Salah satu kendala yang berhasil diidentifikasi oleh para ahli peneliti obat-obatan di dunia terkait HIV ialah diduga kuat bahwa virus ini dapat memproduksi / menggandakan selnya sendiri didalam sel darah putih manusia sehingga virus ini oleh para peneliti digolongkan pada kelompok retrovirus (bisa berkembang biak dalam darah manusia). Terdapat empat (4) jenis cairan dalam tubuh manusia yang epektif menjadi media penularan HIV yaitu Cairan Darah, Cairan Vagina, Cairan Semen/ cairan sperma dan Air Susu Ibu. Cara-cara penularan virus ini terjadi pada aktivitas yang melibatkan empat cairan tubuh di atas seperti: melakukan hubungan seks yang tidak aman, menggunakan jarum suntik secara bergantian, transfusi darah dan lain sebagainya.

Masa inkubasi virus ini cukup lama, karena itu pula menjadi problem tersendiri dalam program pencegahan dan penanggulangannya. Orang yang terinfeksi virus ini tidak langsung menunjukkan gejala, paling tidak ia memerlukan waktu 3 – 6 bulan setelah kita melakukan aktivitas resiko tinggi terpapar HIV, guna mendeteksi ada tidaknya HIV dalam darah kita. Situasi ini sering dikenal dengan istilah fase window periode/ masa jendela, dimana virus sudah masuk kedalam tubuh, tidak ada gejala dan tanda termasuk ketika dilakukan tes Eliza sekalipun, tetapi sudah dapat menularkan lagi kepada orang lain.

BACA JUGA: Menggali Potensi Keterampilan Menulis di Era Digital : Bagian 1

Fase kedua dikenal dengan istilah HIV Positif. Kurun waktu antara 6-3 tahun, pada fase ini virus sudah bisa dideteksi melalui pendekatan labolatoris (tes darah), tetapi belum menunjukkan gejala-gejala klinis. Kalau tidak dikendalikan, maka fase ini sangat luar biasa penularannya, bahkan kalau tidak melakukan konseling HIV secara baik dan benar. Klien pada fase ini bisa mengalami dendam yang hebat, dia berusaha untuk menularkan pada orang lain yang memiliki kebiasaan sama.

Misalnya terdapat lima orang pemakai narkoba suntik satu positif dan empat negatif padahal mereka sama-sama pengguna narkoba suntik, yang satu berusaha ingin menulari yang empat agar memiliki status yang sama. Atau seorang pelanggan seks mengalami positif HIV karena “jajan seks” diluar kota. Pada saat dia kembali ke kotanya, kemudian dia berusaha menularkan kepada orang lain melalui aktivitas seksualnya. Atau barangkali contoh-contoh lain yang memiliki niat untuk melampiaskan rasa dendamnya pada kelompok resiko tinggi lainnya. Untuk itu, maka upaya pelaksanaan kegiatan konseling pra-tes dan pasca-tes benar-benar harus dilakukan dengan baik dan benar agar HIV dapat dikendalikan secara komprehensif.

BACA JUGA: RANCANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA KONSEP PELUANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL INDRAMAYU

Bagaimana cara agar kita tidak terinfeksi HIV? Jawabannya sangat sederhana. Hindari aktivitas-aktivitas yang memungkinkan terjadinya proses percampuran empat cairan tubuh di atas sebagai media penularan. Kalau tidak bisa kita hindari, maka pilihannya lakukan aktivitas itu secara aman. Misalnya aktifitas medis (pembedahan/ operasi, penanganan melahirkan, perawatan gigi dll) harus menggunakan SOP yang benar dengan menerapkan prinsip universal precautions (UP), hindari pajanan sebaik mungkin agar para petugas medis dapat terlindugi dari penyebaran infeksi HIV. Gunakan jarum suntik steril serta gunakan kondom pada setiap aktivitas seksual berresiko tinggi agar keluarga (Isteri/ suami dan anak keturunan) tetap terjaga dengan baik.

Bagaimana pandangan Islam terhadap HIV-AIDS?

Agama Islam yang diturunkan Allah SWT., kebumi melalui kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, peruntukkannya bagi umat manusia dan semesta alam atau yang sering disebut rahmatan lil`alamin. Melalui seperangkat tata nilai yang sistematis dan terpadu (Al-Qur’an dan Hadits) untuk dijadikan pedoman hidup dan kehidupan ummat manusia agar memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di akherat. Salah satu yang diatur dalam syariat Islam ialah berkenaan dengan akidah dan akhlak. Akidah dan akhlak ini terpancar dalam etika serta moral sesorang. Kita diajarkan oleh Allah untuk dapat memisahkan mana yang haq dan mana yang bathil. Dalam syariat Islam juga kita banyak diajarkan tentang cara berperilaku dan bersikap terhadap sesama manusia dan makhluk-makhluk lain yang telah diciptakan Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan atas perilaku syariat di atas, maka sebagai ummat muslim tidak ada alasan untuk menstigma (memberi cap buruk) dan melakukan diskriminasi (membedakan hak) kepada mereka yang HIV Positif atau Orang yang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA mupun OHIDA) yang ada disekitar kita. Berdasarkan pengalaman saya yang pernah bertugas aktif di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kota Cirebon kurang lebih selama tujuh tahun, sering menyaksikan sendiri bagaimana sikap sebagai bentuk respon masyarakat terhadap HIV-AIDS, dan mereka tidak jarang memperlakukan ODHA baik pada saat ada di tempat pelayanan medis maupun di masyarakat lingkungan mereka tinggal, malah sering memperlakukan ODHA secara diskriminatif.

Saya hawatir sikap diskriminatif masyarakat terhadap ODHA dan OHIDA bukan karena rendahnya pengetahuan mereka tentang HIV-AIDS, tetapi hawatir karena pandangan dan sikap keagamaan yang kurang tepat. Padahal bagi umat Islam diserukan oleh Allah melalui firmannya dalam surat Annisa ayat 1 yang artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Atau ayat lain dalam surat Al-Mu’min ayat 67 dan 68 yang artinya:

“Dia-lah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkannya sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti”(QS, 40: 67). “Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka apabila Dia hendak menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu” (QS, 40:68).

Kalau kita lebih mencermati persoalan sosial ini, maka HIV-AIDS tidak semata-mata hanya dipandang sebagai penyakit seksual dan penyakit pengguna narkoba suntik saja. Berdasakan media penularan dan cara penularan, maka banyak sekali aktivitas sosial yang sangat memungkinkan kita dapat terpapar HIV. Misalnya penggunaan alat pembersih bulu yang biasa digunakan ditempat cukur, apakah menggunakan pisau atau zilet masing-masing ?. Atau transfusi darah walaupun sudah melalui screaning di PMI, tetapi ingat HIV ada fase window period, hingga memungkinkan alat screaning di PMI belum bisa mendeteksi secara komprehensif. Atau barangkali pada saat kita berada di jalanan, kemudian menemukan orang yang mengalami kecelakaan berdarah-darah, secara nurani dan sosial kita sering memberikan pertolongan pertama tanpa sarung pengaman sekalipun, sementara kita ingat sebelumnya bahwa tangan kita tergores pisau pada saat ngiris bumbu masakan dan atau luka lain yang ada di tangan kita.

Upaya nyata yang dapat kita lakukan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS dimasyarakat, harus dikerjakan secara bahu membahu dan bersama-sama. Melalui pendekatan komprehensif berbasis masyarakat dan komunitas resiko tinggi terinveksi HIV. Kenapa demikian ?, karena problem sosial yang melingkupi masyarakat disekitar kita tidak dapat diselesaikan sendiri-sendiri. Kualitas kesehatan lingkungan yang rendah, tingkat kemiskinan masyarakat yang cukup tinggi serta rendahnya akses layanan kesehatan karena tidak memadainya sarana dan prasarana yang ada. Ini merupakan tangtangan yang harus segera kita benahi bersama, agar masyarakat dapat terlindungi dari berbagai ancaman kesehatan yang menjadi pemicu utama rendahnya Angka Harapan Hidup Masyarakat kita.
Wallahu a’lam bissawab.

Leave A Reply

You May Also Like

Senat STKIP Yasika tahun 2021 II Dock.wisudakexiii Bismillahirahmanirakhim, Assalamualaikum wr wb, Salam Sejahtera untuk kita semua, Yang Saya hormati Ketua...
-Foto: Ist KABAG Umum Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Sekretariat Kemenristekdikti, Dr Syahril Caniago MBA saat memberikan paparan pada acara stadium...
MAJALENGKA – Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) STKIP Yasika Majalengka periode 2019-2020 secara resmi dilantik...