Preaload Image

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika

HomeArtikel dan OpiniRancangan Pembelajaran Matematika Pada Konsep Peluang Berbasis Kearifan Lokal Indramayu

Rancangan Pembelajaran Matematika Pada Konsep Peluang Berbasis Kearifan Lokal Indramayu

Prinsip-prinsip yang penting dalam teori peluang dapat dihubungkan dengan dunia fisik, yang akan menuntut siswa untuk mengumpulkan, mencatat, menginterpretasi, menganalisa, mengkomunikasikan, dan mempresentasikan himpunan-himpunan data yang sangat penting bagi proses-proses pembuatan keputusan (Wahyudin, 2008). Bahkan Borovcnik & Kapadia (2010) memaparkan kesalahpahaman dalam peluang dapat mempengaruhi keputusan orang dalam situasi penting, seperti tes kesehatan, putusan juri, investasi, penilaian, dan lain-lain. Hal tersebut menggambarkan bahwa konsep peluang sangat luas penerapannya dan tidak sedikit cabang ilmu lain yang memanfaatkan peluang dalam menyelesaikan beberapa masalah, sehingga penting dalam mempelajari konsep peluang dengan baik.

Beberapa bahan ajar konsep peluang yang digunakan oleh siswa tidak memuat pemahaman konsep yang berkaitan dengan percobaan acak, ruang sampel, dan kejadian. Pembelajaran konsep peluang langsung menghadapkan siswa pada masalah peluang. Hal tersebut bertentangan dengan Shao (2015) bahwa ruang sampel adalah konsep dasar penting dalam teori peluang, karena ruang sampel adalah himpunan semua hasil yang mungkin dari sebuah percobaan, dan merupakan dasar dari konsep peluang klasik. Shao (2015), Li & Mendoza (2002) bahwa kesalahan dalam menginterpretasi kemungkinan, siswa tidak memiliki pemahaman menafsirkan peluang dengan cara menghitung kemungkinannya.

BACA JUGA: Bagaimana Mengubah Nestapa agar Menjadi Bahagia ?

Siswa disajikan cara menghitung frekuensi relatif tanpa ada konfirmasi mengenai hubungan antara frekuensi relatif dengan teori peluang. Hal tersebut berpotensi menimbulkan kesulitan untuk dipahami oleh siswa. Menurut Batanero, Henry, dan Parzysz (2005) penting menjelaskan hubungan antara penghitungan peluang melalui pendekatan frekuensi atau statistik yang abstrak dengan perhitungan peluang suatu kejadian, karena hal itu akan menyebabkan siswa kebingungan dan menimbulkan didactic problem. Masalah tersebut di atas berpotensi menimbulkan adanya kesulitan siswa dalam memahami konsep peluang.

Kesulitan-kesulitan dalam belajar peluang tersebut membutuhkan sebuah solusi, menurut Garfield dan Ahlgren (1986) konsep-konsep yang baru harus didemonstrasikan dalam konteks yang siswa ketahui sebelumnya. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa learning obstacle yang dialami siswa dalam mempelajari konsep peluang tersebut membutuhkan suatu penanganan yang tepat oleh guru. Salah satunya adalah dengan mengembangkan bahan ajar yang dikembangkan berdasarkan budaya sehari-hari siswa. Bentuk pengembangan bahan ajar yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Didactical Design Research (DDR) yang telah dikembangkan oleh Suryadi (2010). Hal tersebut sejalan dengan Garfield dan Ahlgren (1986) bahwa desain bahan ajar yang dikembangkan harus menggunakan konteks yang dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa, sehingga dapat membantu siswa menggunakan matematika dalam berbagai persoalan kehidupannya.

Suryadi (2012) juga mendukung pendapat tersebut di atas dengan menerangkan bahwa aktivitas berpikir matematis siswa dipengaruhi oleh konteks sosial dan dipengaruhi pula oleh aspek budaya dan lingkungan. Hal tersebut ditegaskan pula oleh Turmudi (2009) bahwa matematika perlu dipelajari dalam konteks kehidupan yang bermakna dan relevan untuk para siswa, termasuk bahasa mereka, budaya, dan kehidupan sehari-hari mereka, serta pengalaman mereka di sekolah. Dengan kata lain adat kebiasaan, pengetahuan, pemahaman, dan wawasan yang diwariskan sebagai perilaku manusia dalam kehidupan dari kehidupan masyarakat memiliki peranan yang cukup penting dalam perkembangan tingkat berpikir siswa dalam matematika.

BACA JUGA: HIV-AIDS Bukan Semata-mata Penyakit Seksual !

Salah satu potensi kearifan lokal Indramayu yang bersumber dari kehidupan masyarakat petani Indramayu adalah kegiatan telitian pari. Dari kegiatan tersebut tersimpan banyak nilai-nilai penting yang dapat dikembangkan, yaitu sikap disiplin dalam sebuah aturan dan kesepakatan, sikap untuk saling menghormati, dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk saling bertemu dan berkomunikasi sehingga tercipta keharmonisan.Kegiatan telitian pari sebagai salah satu kegiatan yang menanamkan sikap disiplin dengan sebuah aturan dan kesepakatan, sikap bertanggung jawab, sikap saling menghormati, sikap bersahabat penuh keharmonisan, dan lain sebagainya. Setelah musim panen biasanya digelar kumpulan telitian pari (semacam arisan padi). Setiap anggota telitian pari berkumpul dengan membawa sejumlah gabah (padi) yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian setelah terkumpul semuanya, dilakukan undian untuk menentukan siapakah yang berhak membawa padi yang telah dikumpulkan tersebut. Hasil yang diperoleh tersebut biasanya dimanfaatkan sebagai modal untuk mengadakan acara hajatan, sebagai modal untuk menyewa lahan pertanian, ataupun juga untuk membayar lanja atau gade sawah. Selanjutnya acara tersebut dilakukan terus menerus setiap musim panen selesai.

Budaya petani merupakan aktivitas keseharian masyarakat Indramayu.Kasim (2012) menerangkan bahwa kekuatan alam dari laut, pantai, dan tanah dataran rendah, secara langsung maupun tidak langsung, ikut berpengaruh dalam membentuk sikap berbudaya manusia di Indramayu, salah satunya tentang budaya petani di Indramayu. Sawah adalah representasi ruang dalam mencurahkan kreativitas yang produktif, yang bukan hanya diolah, tetapi juga dipelihara dan dicintai. Mengelola sawah dilakukan secara lahir dan batin, raga dan jiwa, atau dengan kata lain tidak ada persentuhan yang tidak hanya menganggap sawah sebagaimana pabrik semata. Mengelola sawah berarti juga mencurahkan separuh jiwanya, sehingga sangat tampak ada keterlibatan jiwa. Mengelola sawah merupakan salah satu potensi kearifan lokal Indramayu yang menggambarkan makna kesetiakawanan, cinta lingkungan, keikhlasan, dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Menggali Potensi Keterampilan Menulis di Era Digital : Bagian 1

Salah satu budaya yang ada di Indramayu adalah bermain panggalandan wayang. Bermain panggalan sebagai salah satu kegiatan yang menanamkan sikap disiplin patuh dengan aturan yang berlaku, sikap tanpa kenal menyerah, pribadi yang mampu melakukan inovasi dan mengembangkan kreatifitas, dan lain sebagainya (Husna, 2009). Panggalan dimainkan oleh beberapa kalangan anak muda di Indramayu termasuk anak-anak ketika waktu senggang. Pemenang dalam permainan ini ditentukan oleh lamanya panggalan yang dimainkan itu berhenti berputar. Permainan ini mirip dengan permainan gansing, namun alat panggalan sebagai gansingnya terbuat dari kayu.
Bermain kartu wayang sebagai salah satu kegiatan yang menanamkan sikap saling menghargai dan taat pada aturan yang berlaku, serta mampu mengembangkan menjadi pribadi yang pekerja keras. Permainan ini sering dilakukan oleh anak-anak di Indramayu. Masyarakat Indramayu biasa menyebut kartu berikut adalah wayang. Kartu tersebut dimainkan dengan cara di tos langsung oleh para pemainnya. Kartu yang terdiri dari dua permukaan tersebut kemudian akan jatuh ke permukaan tanah dengan salah satu permukaan terbuka ke atas.

Selain permainan tradisional, di Indramayu terdapat beberapa kuliner khas yang memiliki makna dan tujuan tertentu dalam pembuatannya, salah satunya adalah kue cimplo. Membuat kue cimplo sebagai salah satu tradisi yang dilakukan di bulan bala (shafar) adalah kegiatan masyarakat Indramayu. Kue cimplo dibagikan kepada para tetangga dan sanak saudara di bulan bala, sebagai salah satu cara yang dipercaya dapat menolak bala atau bahaya. Membuat kue cimplo memiliki makna penting sebagai suatu kegiatan saling mengasihi dan peduli antar sesama. Mengaitkan bentuk cerita dengan pokok bahasan kue cimplo dapat dikembangkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan beberapa informasi matematis yang mengantarkan pada konsep percobaan acak seperti terkait pengambilan cimplo pertama dalam cetakan ketika cetakan tersebut diberi label penomoran.
Selanjutnya terdapat sebuah tradisi rutin yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indramayu, yaitu tradisi ngarot. Tradisi ngarot merupakan adalah upacara adat yang terdapat di Desa Lelea, Indramayu. Tradisi ngarot memiliki arti ucapan syukur terhadap datangnya musim tanam. Masyarakat Lelea memiliki ungkapan syukur yang khas dalam menyambut musim tanam yaitu dengan Ngarot. Upacara adat ngarot selalu dilaksanakan pada bulan Desember pada minggu ke-3 dan selalu dilaksanakan pada hari Rabu karena dianggap keramat.

Dua aspek mendasar dalam proses pembelajaran matematika yang perlu diperhatikan yaitu hubungan antara siswa-materi dan hubungan antara guru-siswa. Hubungan guru dan siswa cukup sering digambarkan dengan segitiga, dengan guru, siswa dan konten sebagai titiknya (Kansanen, 2003). Sebuah segitiga didaktis yang dibuat oleh Kansanen (Suryadi, 2010) menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi, serta hubungan pedagogis (HP) antara guru dan siswa.

BACA JUGA: STKIP Yasika Majalengka Gelar Stadium General

Menurut Suryadi (2010) kedua hubungan tersebut dapat menciptakan situasi didaktis yang tidak sederhana, kita tidak dapat memandang hubungan didaktis dan pedagogis secara parsial. Dalam merancang situasi didaktis, seorang guru perlu memprediksi respon-respon siswa yang akan muncul beserta antisipasinya sehingga situasi didaktis yang baru akan tercipta. Antisipasi tersebut menyangkut hubungan siswa-materi, hubungan guru-siswa serta hubungan guru-materi. Suryadi (2013) menyempurnakan segitiga didaktik tersebut dengan menambahkan hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya disebut sebagai antisipasi didaktis dan pedagogis (ADP).

Peran seorang guru dalam segitiga didaktis yang dimodifikasi di atas tidak hanya menciptakan situasi didaktis dan situasi pedagogis yang ideal pada saat pembelajaran, tetapi juga harus membuat antisipasi didaktis dan pedagogis. Mengingat keseluruhan tugas yang harus dilakukan oleh seorang guru pada saat pembelajaran, sangat kompleks. Oleh sebab itu, seorang guru diharapkan memiliki kemampuan metapedadidaktik. Metapedadidaktik menurut Suryadi (2013) dapat diartikan sebagai kemampuan guru untuk:
(1) Memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh. (2) mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai kebutuhan siswa. (3) mengidentifikasi serta menganalisis respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan. (4) melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa menuju pencapaian target pembelajaran.

Oleh : Benny Anggara, S.Pd., M.Pd.

Leave A Reply

You May Also Like

Oleh: Enjang Idrus, M.Pd.I. Pendahuluan Diberlakukannya Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berimbas pada peningkatan profesionalisme  pendidik...
Oleh, Muaz, M.Pd. Pada abad ketiga Hijriyah tersebut nama seorang ulama besar bernama Syekh Hatim bin Ulwan Al-Asham di daerah...
Oleh: Rosi Gasanti, M.Pd Abstrak Penelitian ini berjudul Métode Démonstrasi dalam Meningkatkan Kemampuan Siswa Bercerita Fabel (Studi Kuasi Eksperimen pada...